. ABA Istimewa

Google Translate

Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch

MELALUI EPIGENETIK - AUTISME BISA DISEMBUHKAN DENGAN OBAT

Melalui Epigenetik - Autisme Bisa Disembuhkan Dengan Obat
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI
(Dokter Spesialis Anak. Konsultan Ahli Autisme, Applied Behavior Analysis, dan Biomedical Intervention Therapy)
Melalui Epigenetik - Autisme Bisa Disembuhkan Dengan Obat || gambar foto terapi intervensi dini autis autism autisme metode applied behavior analysis aba lovaas biomedical intervention liza rudy sutadi jakarta indonesia Pernah dengar mengenai epigenetik? Mungkin bahkan untuk umumnya dokter, hal ini masih asing, oleh karena memang merupakan ilmu yang relatif baru (kata epigenetik sendiri sudah lama ada, tetapi penggunaannya sebagai ilmu yang berhubungan relatif baru).

Pada ilmu genetika, dikenal istilah genotip dan fenotip. Pengertian genotip secara mudahnya adalah susunan genetik yang merupakan dasar dari karakter suatu individu. Sedangkan pengertian fenotip adalah ciri yang tampak/terlihat secara fisik, biasanya berhubungan dengan ukuran, warna, bentuk, sifat/kecenderungan, rasa (ump buah), dlsb.
Suatu susunan genetik (genotip) bisa berbeda dengan penampakan/ekspresinya (fenotip). Contoh misalnya golongan darah. Seseorang yang mempunyai genotip OO maka fenotip golongan darahnya O, begitu juga dengan genotip AA maka fenotipnya golongan darah A.
Jika orangtua mempunyai genotip OO dan AA, maka kemungkinan anak-anaknya mempunyai genotip OO (fenotip O), genotip OA (fenotip A), genotip AO (fenotip A), dan genotip AA (fenotip A).
Jadi, suatu genotip bisa diekspresikan/ditampakkan sebagai fenotip secara berbeda dengan genotipnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan epigenetik yaitu ilmu yang mempelajari perubahan dari suatu fenotip (penampakan) yang disebabkan oleh suatu hal/mekanisme yang bukan karena terjadinya perubahan dari genotip (tanpa terjadi perubahan susunan DNA) suatu individu. Perubahan tersebut bahkan bisa bertahan sampai beberapa generasi.

Kata epi pada epigenetik berasal dari bahasa Yunani yang berarti “on top of” (di atas, ditumpangi) atau “in addition to” (tambahan pada) genetik.

Penelitian epigenetik dimulai pada kembar identik (satu telur) yang kemudian mempunyai perbedaan-perbedaan pada berbagai hal, misalnya adiksi, kanker, homoseksual, berbagai sindrom, dlsb, termasuk pada autisme. Berbagai orang tersebut yang merupakan pasangan dua individu kembar identik, kemudian diteliti perbedaan yang terdapat pada susunan DNA/kromosom/genetiknya. Kemudian ditemukan hal-hal yang menarik, seperti misalnya dua orang yang kembar identik namun salah satunya homoseksual, padahal mereka tumbuh bersama dengan makanan yang sama, lingkungan yang sama, teman-teman yang sama, dlsb yang serba sama. Yang menariknya, ternyata kedua individu tersebut sebenarnya tidak mempunyai genetik homoseksual namun salah satunya terdapat hal yang berhubungan dengan epigenetik ini, sehingga fenotipnya menjadi homoseksual. Begitu juga sebaliknya, yaitu keduanya mempunyai genotip homoseksual, namun salah satunya terdapat hal yang berhubungan dengan epigenetik ini, sehingga fenotipnya menjadi heteroseksual (bukan homoseksual).

Jadi, sesuatu yang menumpang/menambah pada suatu susunan/rangkaian DNA/kromosom/genetik, akan menyebabkan suatu genotip menjadi on atau off (expressed atau suppressed) sehingga fenotipnya berbeda dengan genotipnya.
Proses yang berhubungan dengan itu, merupakan proses metilasi. Semakin suatu area genom termetilasi, maka semakin kurang aktif area tersebut. Di samping bisa juga terjadi proses asetilasi, ubikuitilasi, fosforilasi, dan sumoilasi.

Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan di Albert Einstein College of Medicine of Yeshiva University, menemukan bahwa otak penyan dang autisme secara struktur normal namun terjadi disregulasi, dan disimpulkan bahwa autisme merupakan keadaan yang reversibel (dapat sembuh kembali) dengan obat-obat baru. Peneliti-peneliti tersebut menemukan adanya gangguan yang berhubungan dengan epigenetik pada locus coeruleus–noradrenergic (LC-NA), yaitu sistem yang terlibat pada autisme, yang mengontrol demam maupun perilaku.
LC-NA ini merupakan pusat dari kemampuan kognitif kompleks, perhatian, memproses informasi indera, mensekresi noradrenalin (nerostransmiter yang berperan pada mekanisme arousal (peningkatan aktivitas fisiologikal) seperti “fight or flight”, dlsb.
Pada penelitian lain, didapatkan masalah yang berhubungan dengan epigenetik pada autisme yaitu pada kromosom 15q11–13, 15q dan 7q s.

Dengan berbagai penelitian yang dilakukan secara intensif untuk mempengaruhi epigenetik ini, maka insya ALLAH tidak lama lagi, mungkin tinggal selangkah lagi kelak autisme bisa disembuhkan dengan obat. Pertanyaannya bukan “if” (akankah, mungkinkah) tetapi “when” (kapan). Tinggal menunggu waktu saja untuk mendapatkan obat sebagai magic-bullet atau smoking-gun yang dapat menyembuhkan autisme.

SEMUA PENYAKIT PASTI ADA OBATNYA

Bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Berobatlah wahai hamba-hamba Alloh, sesungguhnya alloh tidak menciptakan suatu penyakit, kecuali menciptakan obatnya….diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.” ( Dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).
Begitu juga didalam hadits Ussamah bin syarik dari Nabi SAW : “Berobatlah wahai hamba-hamba Alloh, sesungguhnya Alloh tidak menciptakan suatu penyakit kecuali menciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit saja yaitu tua renta.”(Dishohihkan oleh Tirmidzi, Hakim, dan Ibnu Khuzaimah. Dalam redaksi lain, …”kecuali as-sa’m”, yakni kematian.).
Juga disebutkan didalam hadits lain dari Jabir : “Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat tepat mengenai penyakit, maka akan terwujud kesembuhan dengan izin Alloh Ta’ala.” (HR. Muslim).
Terdapat pula didalam riwayat Anas : “Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, pasti menciptakan obatnya, maka hendaklah kalian berobat!”. (HR. Ahmad).

Read more »

TERAPI INTERVENSI DINI PADA AUTISME

Terapi Intervensi Dini Pada Autisme
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI
(Dokter Spesialis Anak. Konsultan Ahli Autisme, Applied Behavior Analysis, dan Biomedical Intervention Therapy)
Terapi Intervensi Dini Pada Autisme || gambar foto terapi intervensi dini autis autism autisme metode applied behavior analysis aba lovaas biomedical intervention liza rudy sutadi jakarta indonesia Yang dimaksud dengan Intervensi Dini yaitu terapi/tatalaksana yang dilakukan terhadap anak dengan usia sejak lahir sampai dengan usia 3 tahun (terapi/tatalaksana dimulai sebelum usia 3 tahun) yang dilakukan pada anak-anak yang memiliki kecacatan (disability), keterlambatan perkembangan (developmental delay) atau yang berisiko untuk keterlambatan yang signifikan.

Yang dimaksud dengan developmental delay yaitu jika seorang anak tidak menguasai suatu tahap perkembangan sesuai dengan patokan-patokan perkembangan pada waktu-waktu yang seharusnya sudah dikuasai.
Keterlambatan ini bisa terjadi pada satu bidang atau lebih, misalnya masalah pada kemampuan motorik kasar, motorik halus, bahasa, sosial, atau berpikir/kepandaian.
Per definisi, keterlambatan ini tidak hanya berlangsung sementara, tetapi terus berlanjut jika tidak dilakukan intervensi.

Yang dimaksud dengan disability yaitu ketidak-mampuan seseorang dalam hal fisik, kognitif, mental, panca-indra, emosional, perkembangan, atau kombinasi hal-hal tersebut.
Disability ini meliputi berbagai hal, yaitu misalnya impairment yaitu masalah fungsi atau struktur tubuh, keterbatasan aktivitas yaitu kesulitan untuk melakukan suatu tugas (task) atau aksi, keterbatasan partisipasi yaitu masalah pada seseorang untuk terlibat pada kehidupan sehari-hari.
Secara singkatnya, disability yaitu terdapat masalah pada tubuh/bagian-tubuh seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya sesuai dengan standar yang ada di masyarakat atau yang umum disebut sebagai normal.
Suatu disability dapat terjadi sejak dalam kandungan, saat lahir, atau segera setelah lahir ataupun setelah itu.

Umumnya suatu kelainan hanya melibatkan salah satu bidang saja pada bidang reseptif/sensorik (kemampuan penginderaan), kognitif (kemampuan pemahaman/kecerdasan), atau ekspresif (kemampuan mengungkapkan/menyatakan apa yang ada di dalam pikirannya).
Pada autistik, umumnya ketiga bidang tersebut terkena dampaknya. Sehingga, pada masalah yang “hanya” meliputi satu bidang saja harus dilakukan intervensi dini, maka apalagi pada autistik yang meliputi seluruh ketiga bidang tersebut, yaitu harus dan tidak bisa ditawar lagi untuk dilakukan intervensi dini.

Alasan untuk intervensi dini yaitu sehubungan dengan plastisitas otak, di mana sebelum usia 3 tahun otak relatif jauh lebih plastis dibandingkan dengan di atas 3 tahun.
Plastisitas otak (brain/neuroplasticity) atau disebut juga pemetaan-kembali otak (cortical re-mapping), adalah kemampuan otak manusia untuk berubah sesuai dengan pengalaman/stimuli (rangsangan-rangsangan) yang didapat/diterima oleh otak, yaitu dimana otak yang terdiri dari sel-sel syaraf (neuron) dan sel-sel glial (neuroglial, berasal dari bahasa Yunani glia yang berarti lem. Yaitu sel-sel non-neuron yang memelihara homeostasis, membentuk myelin/selubung-saraf, serta memberi dukungan dan perlindungan bagi sel-sel neuron) saling berhubungan, dimana berbagai stimuli yang terjadi dapat mengakibatkan perubahan pada kekuatan koneksi satu-sama-lain, atau terjadi penambahan/penghilangan suatu koneksi, atau terbentuknya sel-sel baru.

Penelitian membuktikan bahwa pemberian stimuli (proses pembelajaran) yang tepat dapat merubah perilaku dan kognisi karena terjadi modifikasi koneksi-koneksi antara sel-sel neuron yang ada, maupun terjadinya pembentukan sel-sel neuron baru (neurogenesis).

Sampai dengan abad 20, sebelumnya diyakini bahwa sel-sel otak tidak dapat berkembang setelah periode usia tertentu, dan sel-sel otak yang sudah “mati” tidak dapat “hidup” kembali, serta (terutama) tidak bisa “terlahirnya” sel-sel neuron baru (neurogenesis).
Namun penelitian-penelitian modern membuktikan bahwa hal-hal ini bisa/mungkin terjadi, bahkan pada seluruh bagian otak, di sepanjang usia. Neroplastisitas ini dapat merubah struktur (anatomi) otak maupun fungsinya (fisiologi).

Hasil terbaik adalah jika intervensi mulai dilakukan sebelum anak berusia 3 tahun, yang disebut sebagai intervensi dini.
Penundaan dimulainya terapi akan mempengaruhi hasil jangka panjang (mengurangi keberhasilan).
Bagaimana jika anak sudah berusia di atas itu atau jauh di atas itu? Mohon diperhatikan bahwa alasan intervensi dini adalah karena di bawah usia 3 tahun, otak relatif *lebih* plastis dibanding di atas usia 3 tahun. Jadi, usia berapapun seorang anak autistik, harus dan bisa dilakukan intervensi, namun tidak lagi disebut sebagai intervensi dini, dan hasilnya kemungkinan besar akan berbeda jika intervensi dilakukan dini.

Read more »

PENYEBAB AUTISME

Penyebab Autisme
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI
(Dokter Spesialis Anak. Konsultan Ahli Autisme, Applied Behavior Analysis, dan Biomedical Intervention Therapy)
Penyebab Autisme || gambar foto terapi intervensi dini autis autism autisme metode applied behavior analysis aba lovaas biomedical intervention liza rudy sutadi jakarta indonesia Terjadinya autisme yaitu oleh karena adanya dasar faktor genetik yang dipengaruhi dan.atau dipicu oleh faktor lingkungan seperti misalnya infeksi rubella/cytomegalovirus, polutan/intoksikasi logam berat, dan vaksinasi campak/MMR (yang masih menjadi kontroversi), dll.
Faktor genetik yang berperan sangatlah komplek dan masih dalam penelitian, apakah terjadi mutasi yang langka pada gen ataukah kombinasi dari beberapa varian umum pada gen. Terdapat 7 buah gen yang terlibat dalam autisme, dimana empat diantaranya terdapat pada gen yang ditemukan pada kromosom otosomal 3, 7, 13, dan 15, sedangkan 3 lainnya terdapat pada kromosom X.

Faktor genetik dan lingkungan, sering diibaratkan sebagai peluru dalam pistol dan pelatuknya. Peluru diibaratkan sebagai dasar genetik, yang tidak akan meledak jika tidak ada pemicu dari faktor lingkungan.
Demikian juga sebaliknya, tidak mungkin terjadi ledakan jika tidak ada peluru (sebagai dasar generik), walaupun dipicu oleh berbagai faktor lingkungan. Apalagi jika tidak ada dasar genetik (sebagai peluru), maupun pengaruh faktor lingkungan sebagai pemicu.
Barulah terjadi ledakan (ASD) jika terdapat peluru (faktor genetik) yang dipicu oleh pelatuk (faktor lingkungan).
Inilah mungkin yang bisa menerangkan tentang kontroversi hubungan antara ASD dengan vaksin yang mengandung thimerosal (air raksa) maupun vaksin MMR. Yaitu dasar faktor genetik terjadinya cukup langka, dan kalaupun ada harus dipicu oleh faktor lingkungan yang tepat yang menyebabkan terjadinya proses otoimun di otak (sebagai contoh kaitan dengan vaksin MMR).

Terdapat bukti bahwa masalah genetik pada autisme ini dapat melemahkan sistem imun. Juga terdapat bukti bahwa virus dapat memicu autisme, yaitu misalnya infeksi rubella saat trimester pertama kehamilan, begitu juga dengan cytomegalovirus.
Beberapa vaksin juga diyakini berkaitan dengan autisme, yaitu komponen campak pada vaksin MMR, dan komponen pertusis padan vaksin DPT.
Selain itu, toksin-toksin dan polutan-polutan dari pencemaran lingkungan/pabrik juga bisa memicu terjadinya autisme.

Read more »

JEPANG MENGHENTIKAN PENGGUNAAN VAKSIN MENINGITIS DAN PNEUMONIA

Jepang Menghentikan Penggunaan Vaksin Meningitis Dan Pneumonia
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI
(Dokter Spesialis Anak. Konsultan Ahli Autisme, Applied Behavior Analysis, dan Biomedical Intervention Therapy)
Jepang Menghentikan Penggunaan Vaksin Meningitis Dan Pneumonia || gambar foto terapi intervensi dini autis autism autisme metode applied behavior analysis aba lovaas biomedical intervention liza rudy sutadi jakarta indonesia Kementerian Kesehatan Jepang telah menghentikan penggunaan vaksin meningitis dan pneumonia, setelah terdapat 4 kematian berturut-turut yang terjadi di Jepang pada bulan Februari dan Maret 2011 ini, pada anak-anak berumur 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun,.

Kematian tersebut terjadi tidak lama setelah mereka mendapat vaksin meningitis yang diproduksi oleh Pfizer dan Sanofi-Aventis. Walaupun kematian tersebut masih dalam penyelidikan apakah memang berkaitan dengan vaksinasi yang dilakukan terhadap mereka, namun agar supaya tidak terjadi kepanikan maka Kementerian Kesehatan Jepang memutuskan untuk segera menghentikan penggunakan vaksin pneumonia dan meningitis sampai adanya hasil dari penyelidikan.

Kementerian Kesehatan Jepang juga menghentikan penggunaan vaksin ActHIB yang diproduksi oleh Prevenar Pfizer dan Sanofi, sampai ada kejelasan apakah kematian-kematian tersebut memang disebabkan oleh vaksin.

Read more »

KONTROVERSI HUBUNGAN ANTARA VAKSIN DAN AUTISME

Kontroversi Hubungan Antara Vaksin Dan Autisme
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI
(Dokter Spesialis Anak. Konsultan Ahli Autisme, Applied Behavior Analysis, dan Biomedical Intervention Therapy)
Kontroversi Hubungan Antara Vaksin Dan Autisme || gambar foto terapi intervensi dini autis autism autisme metode applied behavior analysis aba lovaas biomedical intervention liza rudy sutadi jakarta indonesia Sampai saat ini, masih berlangsung kontroversi/perdebatan mengenai hubungan antara vakstin dan autisme. Namun telah banyak laporan terjadinya regresi autistik beberapa minggu setelah seorang anak mendapat vaksin. Laporan yang paling sering adalah regresi autistik oleh karena MMR. MMR dikaitkan dengan autisme melalui proses autoimun. Sedangkan vaksin lainnya yang dikaitkan dengan autisme adalah beberapa vaksin Hepatitis B dan DPT, yang disebabkan oleh merkuri (thimerosal) yang dikandungnya.

Boyd Haley, seorang profesor ahli kimia menerangkan bahwa batas aman yang ditetapkan oleh EPA (Environment Protection Agency) untuk paparan merkuri dalam makanan adalah 0,1 mikrogram per kilogram berat badan. Sedangkan merkuri dalam vaksin (thimerosal) kadarnya 12,5 mikrogram yang berarti 125 kali jauh lebih tinggi dari batas aman dari EPA.
Sehingga vaksin yang mengandung thimerosal hanya aman jika berat bayi anda adalah 125 kilogram!!! Terlebih lagi thimerosal ini disuntikkan, sehingga menyebabkan lebih toksik, ditambah lagi berikatan dengan alumunium yang meningkatkan nerotoksisitasnya.
Sehingga tidak benarlah jika ada dokter yang mengatakan bahwa thimerosal jumlahnya relatif kecil sehingga bisa diabaikan atau tidak perlu dikuatirkan.
Selain itu, masalahnya pada (calon) penyandang autisme kurang mampu untuk mengeliminasi/mendetoksifikasi bahan-bahan toksik termasuk merkuri ini, sehingga terjadi penumpukan (kumulasi) merkuri yang didapat dari vaksinasi serial ini, kemudian merkuri-merkuri tersebut akan terdistribusi ke seluruh organ-organ tubuh, termasuk otak dan merusak sel-sel syaraf (neuron dan neurit/dendrit)..

Sejak diperkenalkannya vaksin MMR, maka terlihat bahwa angka kejadian penyandang baru autisme sangat meningkat. Kejadian ini bukan hanya berkebetulan (koinsidens), namun benar-benar merupakan hal yang nyata.
Di California misalnya, sejak vaksin MMR diperkenalkan pada tahun 1978, jumlah penyandang autisme semakin meningkat setiap tahunnya. Yaitu yang biasanya ditemukan kurang dari 200 pasien baru per tahun, meningkat menjadi hampir 600 orang per tahunnya pada tahun 1990-an.
Begitu juga di Inggris, vaksinasi MMR mulai dilakukan pada tahun 1988, sejak itu terjadi peningkatan jumlah penyandang baru autisme. Yaitu yang biasanya kurang dari 250 per tahunnya, terus meningkat sampai hampir 400-an per tahun pada awal tahun 1990-an, dan hampir 600 pada tahun 1995-1996.

Dari hasil penelitian (Lancet, 1998), diketahui hubungan antara vaksin MMR dengan autisme yaitu kemudian kaitannya lebih lanjut dengan terjadinya hiperpermeabilitas (peningkatan permeabilitas) usus, suatu keadaan yang disebut leaky gut syndrome.
Itu merupakan kemungkinan pertama di mana autisme merupakan akibat tidak langsung dari vaksin MMR. Sedangkan akibat langsung dari MMR yang menyebabkan autisme diketahui dari hasil penelitian Dr Vijendra Singh.
Singh menemukan bahwa sebanyak 80% (dari 400 kasus dan kontrol) anak-anak autistik memiliki otoantibodi terhadap myelin basic protein (MBP) yaitu jaket yang menyelimuti serabut syaraf, sehingga serabut syaraf bersangkutan tidak lagi berfungsi karena tidak dapat menghantarkan sinyal. Dan, semakin banyak jumlah antibodi terhadap virus campak, semakin banyak pula anti-MBP, sehingga semakin luaslah kerusakan di otak.
Antibodi tersebut jarang ditemukan pada anak normal/kontrol (0-5%). Singh menyimpulkan bahwa autisme disebabkan oleh respons otoimun spesifik terhadap MBP yang menyebabkan kerusakan myelin pada otak yang sedang berkembang. Akhirnya, dengan adanya kerusakan \'perkabelan\' otak maka terjadilah autisme.

Riwayat pemberian vaksin (vaksinasi) dimulai sejak Edward Jenner pada tahun 1796 melakukan vaksinasi cacar, kemudian dari abad ke abad berikutnya ditemukanlah berbagai vaksin untuk melawan berbagai penyakit infeksi. Sehingga saat ini, sebelum anak mencapai usia 2 tahun, anak telah diberondong dengan berbagai jenis vaksinasi, sehingga paling tidak telah mendapat vaksin sebanyak 13-18 kali, yang terdiri dari BCG, DPT, polio, campak, hepatitis B, meningitis (HIB), dan MMR. Dalam sejarah pemberian vaksin, terbukti bahwa telah banyak terjadi reaksi buruk (adverse reaction) setelah anak mendapat vaksinasi.

Dulu, dalam suatu kuliah pada Fakultas Kedokteran di Harvard University, dikatakan bahwa bila kita menemukan satu orang saja penyandang autisme dalam praktek, itu sudah terlalu banyak. Sedangkan saat ini banyak sekali dapat kita jumpai penyandang autisme, bahkan di tempat-tempat umum sekalipun (mal dll).

Pada pertengahan abad yang lalu, ketika vaksinasi hanya terdiri dari 4 macam (difteri, tetanus, pertusis, dan cacar), autisme sangat jarang ditemui. Sejak diidentifikasinya autisme pertama kali pada tahun 1943, autisme hanya dijumpai kurang dari 1 di antara 10.000 anak. Saat ini di Amerika, terdapat 1 penyandang autisme dalam setiap 68 keluarga.
Selain itu, gangguan perkembangan yang lebih ringan, misalnya ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) juga jarang ditemukan sebelum jaman vaksin, namun saat ini terdapat 4juta anak ADHD di Amerika.
Juga diketahui bahwa 1 di antara 6 anak Amerika masuk dalam kategori LD (Learning Disabled). Angka-angka sedemikian besar ini sudah dapat dikatakan wabah! Wabah autisme! Sedangkan selama ini tidak pernah diketahui adanya wabah pada penyakit-penyakit genetik, oleh karena itu tentulah faktor lingkungan yang berperan pada peningkatan terjadinya autisme.

Selain itu juga, banyak anak di Amerika mengalami epidemi penyakit-penyakit autoimun, seperti diabetes tipe I, artritis rematoid, asma, dan gangguan pencernaan. Terdapat peningkatan 17 kali lipat pada diabetes tipe 1, yaitu dari 1 di antara 7.100 anak pada tahun 1950 menjadi 1 di antara 400 saat ini. Artritis rematoid pada anak menimpa 300.000 anak, yang mana penyakit ini sangat jarang pada 25 tahun yang lalu sehingga tidak terdapat data statstik tentang hal ini di kantor departemen kesehatan. Terjadi peningkatan sampai 4 kali pada asma, dan gangguan pencernaan juga sudah umum dijumpai dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu.

Terdapat sejumlah data yang semakin banyak tentang dampak vaksin terhadap gangguan kesehatan anak-anak. Di antaranya hipotesis bahwa vaksin menyebabkan gangguan sistem nerologis dan sistem imun, yang disebabkan pemberian sejumlah vaksin pada anak-anak dalam rentang waktu yang dekat.
Yaitu telah diketahui bahwa otak juga memiliki sistem imun khusus tersendiri, yaitu sel-sel mikroglia. Ketika seseorang mendapat vaksinasi, mikroglia ini teraktivasi. Pemberian vaksinasi yang jaraknya dekat akan menyebabkan over-stimulasi dari mikroglia, sehingga mereka melepaskan berbagai elemen toksik seperti sitokin, kemokin, eksitotoksin, protease, komplemen, dan radikal bebas, yang dapat merusak sel-sel otak dan hubungan-hubungan sinaptiknya (JANA, 2003;6(4):21-35. \"Interaction of Cytokines, Excitotoxins, Reactive Nitrogen and Oxygen Species in Autism Spectrum Disorders\"; JAPS 2004;9(2):46—52: \"Chronic Microglial Activation and Excitotoxicity Secondary to Excessive Immune Stimulation: Possible Factors in Gulf War Syndrome and Autism,\").

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, oleh karena perkembangan otak manusia paling pesat terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan, maka sebaiknya vaksinasi tidak diberikan pada anak-anak yang berisiko tinggi terhadap autisme, sampai adanya penelitian randomized controlled yang membuktikan keamanannya. Pengecualian pada vaksin hepatitis B jika ibunya positif terhadap penyakit tersebut.
Kemudian, paling tidak setelah usia 2 tahun, jika ingin divaksinasi, pemberian vaksin ini hanya maksimal 1 jenis dalam 6 bulan (agar supaya sistem imun mempunyai cukup waktu untuk pulih dan stabil), satu-demi-satu secara terpisah/tersendiri, jangan digunakan vaksin gabungan DPT/DTaP, MMR, dll. Namun terdapat juga kasus terjadinya regresi autisme pada beberapa anak usia 3-4 tahun ketika dilakukan vaksinasi masal MMR di Inggris.
Sebaiknya juga hindari penggunaan vaksin yang mengandung virus hidup, yang terdapat pada MMR (gabungan), varicella (cacar air), serta vaksin polio Sabin. Jadi, mungkin sebaiknya hanya 4 vaksin yang diberikan, yaitu Pertusis (yang aseluer / aP, bukan yang seluruh sel / P), difteri (D), tetanus (T), dan vaksin Polio Salk.

Jepang yang merupakan negara maju telah melarang vaksin MMR sejak tahun 1993 setelah 1,8 juta anak mendapat MMR dan terjadi sejumlah meningitis non-viral dan reaksi buruk lainnya.
Pemerintah Jepang menyadari adanya masalah sehubungan dengan MMR setelah vaksin ini diwajibkan mulai tahun 1989, dan dikenakan denda bagi yang menolak vaksin MMR tersebut.
Setelah itu terdapat hampir 1000 klaim kompensasi sehubungan dengan akibat buruk dari MMR.
Pada tahun 1999, pemerintah Jepang mempertimbangkan kembali pemberian MMR, tetapi diputuskan bahwa lebih aman untuk tetap m elarang MMR, dan tetap melanjutkan penggunaan vaksinasi terpisah antara measles (campak), mumps (parotitis/ gondongan), dan rubella (campak Jerman).

Pemerintah Jepang menyadari adanya masalah dengan MMR segera setelah mulai mewajibkan vaksinasi pada April 1989. Suatu analisis selama tiga bulan menunjukkan bahwa terjadi masalah pada 1 anak dari setiap 900 injeksi. Dan ini adalah 2.000 kali lebih tinggi dari yang diperkirakan (expected rate) yaitu 1 dari 200.000.
Dr. Hiroki Nakatani, direktur divisi penyakit menular dari Departemen Kesehatan Jepang mengatakan bahwa pemberian vaksin terpisah memang menyebabkan biaya dua kalinya dibanding MMR, tetapi beliau mengatakan bahwa mereka percaya hal ini lebih berharga (yaitu anak lebih berharga dibanding uang).

Kementerian Kesehatan Jepang pada tahun 2002 mengatakan bahwa dengan dilarangnya/dihentikannya vaksin MMR di Jepang, tidak terjadi peningkatan kematian akibat penyakit campak. Bahkan angka kematian akibat campak lebih tinggi dalam kurun waktu saat masih digunakannya vaksin MMR, dibandingkan setelah diberikan secara terpisah.
Hal ini dikemukakan dalam rangka menangkis tudingan PM Inggris Tony Blair yang memberi contoh betapa bahayanya jika tidak dilakukan vaksinasi MMR di Jepang.
Padahal, untuk diketahui, bahwa Leo Blair sendiri yang merupakan anak bungsu dari PM Tony Blair, tidak divaksinasi MMR. Sejak dipertanyakan oleh masyarakat Inggris pada tahun 2002 dan sampai saat inipun masih dipertanyakan apakah Leo Blair sudah mendapat vaksinasi MMR atau belum. Sebagai tambahan Cherrie Blair (istri dari PM Tony Blair), yang adalah seorang ahli hukum, adalah orang yang skeptis terhadap berbagai hal, termasuk tidak percaya terhadap manfaat vaksin.

Perlu diketahui oleh orangtua, bahwa jika anak tidak mendapat suatu vaksinasi, maka anak tersebut mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular penyakit infeksi yang bersangkutan dibandingkan anak yang sudah diimunisasi.
Namun di alam ini dikenal suatu fenomena yang disebut sebagai herd-immunity (kekebalan kelompok/komunitas). Herd-immunity ini bisa terjadi jika 70an sampai 80an persen dari seluruh populasi (penduduk) telah mendapat imunisasi penyakit tersebut. Sehingga hal ini memperkecil kemungkinan seorang anak dengan high-risk autism tertular penyakit infeksi tersebut.

Oleh karena itu, orangtua harus secara bijaksana mempertimbangkan diberikan atau tidak diberikannya vaksinasi kepada anak-anak yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya autisme (high-risk autism).
Seorang bayi/anak termasuk dalam high-risk autism jika di dalam keluarga besar mereka terdapat:
  1. Penyandang autisme,
  2. Penyakit otoimun (Lupus, Jantung Rematik, Artritis Rematoid, dll),
  3. Gangguan jiwa (skizofren, dll),
  4. Penyakit genetik (sindrom Down, maple syrup urine disease, dll),
  5. Gangguan perkembangan yang lainnya (gangguan belajar/learning disability, retardasi mental, terlambat bicara, dll).

Read more »