. KONTROVERSI HUBUNGAN ANTARA VAKSIN DAN AUTISME | ABA Istimewa

Google Translate

Google Translate
Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch

KONTROVERSI HUBUNGAN ANTARA VAKSIN DAN AUTISME

Kontroversi Hubungan Antara Vaksin Dan Autisme
Dr. Rudy Sutadi, SpA, MARS, SPdI
(Dokter Spesialis Anak. Konsultan Ahli Autisme, Applied Behavior Analysis, dan Biomedical Intervention Therapy)
Kontroversi Hubungan Antara Vaksin Dan Autisme || gambar foto terapi intervensi dini autis autism autisme metode applied behavior analysis aba lovaas biomedical intervention liza rudy sutadi jakarta indonesia Sampai saat ini, masih berlangsung kontroversi/perdebatan mengenai hubungan antara vakstin dan autisme. Namun telah banyak laporan terjadinya regresi autistik beberapa minggu setelah seorang anak mendapat vaksin. Laporan yang paling sering adalah regresi autistik oleh karena MMR. MMR dikaitkan dengan autisme melalui proses autoimun. Sedangkan vaksin lainnya yang dikaitkan dengan autisme adalah beberapa vaksin Hepatitis B dan DPT, yang disebabkan oleh merkuri (thimerosal) yang dikandungnya.

Boyd Haley, seorang profesor ahli kimia menerangkan bahwa batas aman yang ditetapkan oleh EPA (Environment Protection Agency) untuk paparan merkuri dalam makanan adalah 0,1 mikrogram per kilogram berat badan. Sedangkan merkuri dalam vaksin (thimerosal) kadarnya 12,5 mikrogram yang berarti 125 kali jauh lebih tinggi dari batas aman dari EPA.
Sehingga vaksin yang mengandung thimerosal hanya aman jika berat bayi anda adalah 125 kilogram!!! Terlebih lagi thimerosal ini disuntikkan, sehingga menyebabkan lebih toksik, ditambah lagi berikatan dengan alumunium yang meningkatkan nerotoksisitasnya.
Sehingga tidak benarlah jika ada dokter yang mengatakan bahwa thimerosal jumlahnya relatif kecil sehingga bisa diabaikan atau tidak perlu dikuatirkan.
Selain itu, masalahnya pada (calon) penyandang autisme kurang mampu untuk mengeliminasi/mendetoksifikasi bahan-bahan toksik termasuk merkuri ini, sehingga terjadi penumpukan (kumulasi) merkuri yang didapat dari vaksinasi serial ini, kemudian merkuri-merkuri tersebut akan terdistribusi ke seluruh organ-organ tubuh, termasuk otak dan merusak sel-sel syaraf (neuron dan neurit/dendrit)..

Sejak diperkenalkannya vaksin MMR, maka terlihat bahwa angka kejadian penyandang baru autisme sangat meningkat. Kejadian ini bukan hanya berkebetulan (koinsidens), namun benar-benar merupakan hal yang nyata.
Di California misalnya, sejak vaksin MMR diperkenalkan pada tahun 1978, jumlah penyandang autisme semakin meningkat setiap tahunnya. Yaitu yang biasanya ditemukan kurang dari 200 pasien baru per tahun, meningkat menjadi hampir 600 orang per tahunnya pada tahun 1990-an.
Begitu juga di Inggris, vaksinasi MMR mulai dilakukan pada tahun 1988, sejak itu terjadi peningkatan jumlah penyandang baru autisme. Yaitu yang biasanya kurang dari 250 per tahunnya, terus meningkat sampai hampir 400-an per tahun pada awal tahun 1990-an, dan hampir 600 pada tahun 1995-1996.

Dari hasil penelitian (Lancet, 1998), diketahui hubungan antara vaksin MMR dengan autisme yaitu kemudian kaitannya lebih lanjut dengan terjadinya hiperpermeabilitas (peningkatan permeabilitas) usus, suatu keadaan yang disebut leaky gut syndrome.
Itu merupakan kemungkinan pertama di mana autisme merupakan akibat tidak langsung dari vaksin MMR. Sedangkan akibat langsung dari MMR yang menyebabkan autisme diketahui dari hasil penelitian Dr Vijendra Singh.
Singh menemukan bahwa sebanyak 80% (dari 400 kasus dan kontrol) anak-anak autistik memiliki otoantibodi terhadap myelin basic protein (MBP) yaitu jaket yang menyelimuti serabut syaraf, sehingga serabut syaraf bersangkutan tidak lagi berfungsi karena tidak dapat menghantarkan sinyal. Dan, semakin banyak jumlah antibodi terhadap virus campak, semakin banyak pula anti-MBP, sehingga semakin luaslah kerusakan di otak.
Antibodi tersebut jarang ditemukan pada anak normal/kontrol (0-5%). Singh menyimpulkan bahwa autisme disebabkan oleh respons otoimun spesifik terhadap MBP yang menyebabkan kerusakan myelin pada otak yang sedang berkembang. Akhirnya, dengan adanya kerusakan \'perkabelan\' otak maka terjadilah autisme.

Riwayat pemberian vaksin (vaksinasi) dimulai sejak Edward Jenner pada tahun 1796 melakukan vaksinasi cacar, kemudian dari abad ke abad berikutnya ditemukanlah berbagai vaksin untuk melawan berbagai penyakit infeksi. Sehingga saat ini, sebelum anak mencapai usia 2 tahun, anak telah diberondong dengan berbagai jenis vaksinasi, sehingga paling tidak telah mendapat vaksin sebanyak 13-18 kali, yang terdiri dari BCG, DPT, polio, campak, hepatitis B, meningitis (HIB), dan MMR. Dalam sejarah pemberian vaksin, terbukti bahwa telah banyak terjadi reaksi buruk (adverse reaction) setelah anak mendapat vaksinasi.

Dulu, dalam suatu kuliah pada Fakultas Kedokteran di Harvard University, dikatakan bahwa bila kita menemukan satu orang saja penyandang autisme dalam praktek, itu sudah terlalu banyak. Sedangkan saat ini banyak sekali dapat kita jumpai penyandang autisme, bahkan di tempat-tempat umum sekalipun (mal dll).

Pada pertengahan abad yang lalu, ketika vaksinasi hanya terdiri dari 4 macam (difteri, tetanus, pertusis, dan cacar), autisme sangat jarang ditemui. Sejak diidentifikasinya autisme pertama kali pada tahun 1943, autisme hanya dijumpai kurang dari 1 di antara 10.000 anak. Saat ini di Amerika, terdapat 1 penyandang autisme dalam setiap 68 keluarga.
Selain itu, gangguan perkembangan yang lebih ringan, misalnya ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) juga jarang ditemukan sebelum jaman vaksin, namun saat ini terdapat 4juta anak ADHD di Amerika.
Juga diketahui bahwa 1 di antara 6 anak Amerika masuk dalam kategori LD (Learning Disabled). Angka-angka sedemikian besar ini sudah dapat dikatakan wabah! Wabah autisme! Sedangkan selama ini tidak pernah diketahui adanya wabah pada penyakit-penyakit genetik, oleh karena itu tentulah faktor lingkungan yang berperan pada peningkatan terjadinya autisme.

Selain itu juga, banyak anak di Amerika mengalami epidemi penyakit-penyakit autoimun, seperti diabetes tipe I, artritis rematoid, asma, dan gangguan pencernaan. Terdapat peningkatan 17 kali lipat pada diabetes tipe 1, yaitu dari 1 di antara 7.100 anak pada tahun 1950 menjadi 1 di antara 400 saat ini. Artritis rematoid pada anak menimpa 300.000 anak, yang mana penyakit ini sangat jarang pada 25 tahun yang lalu sehingga tidak terdapat data statstik tentang hal ini di kantor departemen kesehatan. Terjadi peningkatan sampai 4 kali pada asma, dan gangguan pencernaan juga sudah umum dijumpai dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu.

Terdapat sejumlah data yang semakin banyak tentang dampak vaksin terhadap gangguan kesehatan anak-anak. Di antaranya hipotesis bahwa vaksin menyebabkan gangguan sistem nerologis dan sistem imun, yang disebabkan pemberian sejumlah vaksin pada anak-anak dalam rentang waktu yang dekat.
Yaitu telah diketahui bahwa otak juga memiliki sistem imun khusus tersendiri, yaitu sel-sel mikroglia. Ketika seseorang mendapat vaksinasi, mikroglia ini teraktivasi. Pemberian vaksinasi yang jaraknya dekat akan menyebabkan over-stimulasi dari mikroglia, sehingga mereka melepaskan berbagai elemen toksik seperti sitokin, kemokin, eksitotoksin, protease, komplemen, dan radikal bebas, yang dapat merusak sel-sel otak dan hubungan-hubungan sinaptiknya (JANA, 2003;6(4):21-35. \"Interaction of Cytokines, Excitotoxins, Reactive Nitrogen and Oxygen Species in Autism Spectrum Disorders\"; JAPS 2004;9(2):46—52: \"Chronic Microglial Activation and Excitotoxicity Secondary to Excessive Immune Stimulation: Possible Factors in Gulf War Syndrome and Autism,\").

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, oleh karena perkembangan otak manusia paling pesat terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan, maka sebaiknya vaksinasi tidak diberikan pada anak-anak yang berisiko tinggi terhadap autisme, sampai adanya penelitian randomized controlled yang membuktikan keamanannya. Pengecualian pada vaksin hepatitis B jika ibunya positif terhadap penyakit tersebut.
Kemudian, paling tidak setelah usia 2 tahun, jika ingin divaksinasi, pemberian vaksin ini hanya maksimal 1 jenis dalam 6 bulan (agar supaya sistem imun mempunyai cukup waktu untuk pulih dan stabil), satu-demi-satu secara terpisah/tersendiri, jangan digunakan vaksin gabungan DPT/DTaP, MMR, dll. Namun terdapat juga kasus terjadinya regresi autisme pada beberapa anak usia 3-4 tahun ketika dilakukan vaksinasi masal MMR di Inggris.
Sebaiknya juga hindari penggunaan vaksin yang mengandung virus hidup, yang terdapat pada MMR (gabungan), varicella (cacar air), serta vaksin polio Sabin. Jadi, mungkin sebaiknya hanya 4 vaksin yang diberikan, yaitu Pertusis (yang aseluer / aP, bukan yang seluruh sel / P), difteri (D), tetanus (T), dan vaksin Polio Salk.

Jepang yang merupakan negara maju telah melarang vaksin MMR sejak tahun 1993 setelah 1,8 juta anak mendapat MMR dan terjadi sejumlah meningitis non-viral dan reaksi buruk lainnya.
Pemerintah Jepang menyadari adanya masalah sehubungan dengan MMR setelah vaksin ini diwajibkan mulai tahun 1989, dan dikenakan denda bagi yang menolak vaksin MMR tersebut.
Setelah itu terdapat hampir 1000 klaim kompensasi sehubungan dengan akibat buruk dari MMR.
Pada tahun 1999, pemerintah Jepang mempertimbangkan kembali pemberian MMR, tetapi diputuskan bahwa lebih aman untuk tetap m elarang MMR, dan tetap melanjutkan penggunaan vaksinasi terpisah antara measles (campak), mumps (parotitis/ gondongan), dan rubella (campak Jerman).

Pemerintah Jepang menyadari adanya masalah dengan MMR segera setelah mulai mewajibkan vaksinasi pada April 1989. Suatu analisis selama tiga bulan menunjukkan bahwa terjadi masalah pada 1 anak dari setiap 900 injeksi. Dan ini adalah 2.000 kali lebih tinggi dari yang diperkirakan (expected rate) yaitu 1 dari 200.000.
Dr. Hiroki Nakatani, direktur divisi penyakit menular dari Departemen Kesehatan Jepang mengatakan bahwa pemberian vaksin terpisah memang menyebabkan biaya dua kalinya dibanding MMR, tetapi beliau mengatakan bahwa mereka percaya hal ini lebih berharga (yaitu anak lebih berharga dibanding uang).

Kementerian Kesehatan Jepang pada tahun 2002 mengatakan bahwa dengan dilarangnya/dihentikannya vaksin MMR di Jepang, tidak terjadi peningkatan kematian akibat penyakit campak. Bahkan angka kematian akibat campak lebih tinggi dalam kurun waktu saat masih digunakannya vaksin MMR, dibandingkan setelah diberikan secara terpisah.
Hal ini dikemukakan dalam rangka menangkis tudingan PM Inggris Tony Blair yang memberi contoh betapa bahayanya jika tidak dilakukan vaksinasi MMR di Jepang.
Padahal, untuk diketahui, bahwa Leo Blair sendiri yang merupakan anak bungsu dari PM Tony Blair, tidak divaksinasi MMR. Sejak dipertanyakan oleh masyarakat Inggris pada tahun 2002 dan sampai saat inipun masih dipertanyakan apakah Leo Blair sudah mendapat vaksinasi MMR atau belum. Sebagai tambahan Cherrie Blair (istri dari PM Tony Blair), yang adalah seorang ahli hukum, adalah orang yang skeptis terhadap berbagai hal, termasuk tidak percaya terhadap manfaat vaksin.

Perlu diketahui oleh orangtua, bahwa jika anak tidak mendapat suatu vaksinasi, maka anak tersebut mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular penyakit infeksi yang bersangkutan dibandingkan anak yang sudah diimunisasi.
Namun di alam ini dikenal suatu fenomena yang disebut sebagai herd-immunity (kekebalan kelompok/komunitas). Herd-immunity ini bisa terjadi jika 70an sampai 80an persen dari seluruh populasi (penduduk) telah mendapat imunisasi penyakit tersebut. Sehingga hal ini memperkecil kemungkinan seorang anak dengan high-risk autism tertular penyakit infeksi tersebut.

Oleh karena itu, orangtua harus secara bijaksana mempertimbangkan diberikan atau tidak diberikannya vaksinasi kepada anak-anak yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya autisme (high-risk autism).
Seorang bayi/anak termasuk dalam high-risk autism jika di dalam keluarga besar mereka terdapat:
  1. Penyandang autisme,
  2. Penyakit otoimun (Lupus, Jantung Rematik, Artritis Rematoid, dll),
  3. Gangguan jiwa (skizofren, dll),
  4. Penyakit genetik (sindrom Down, maple syrup urine disease, dll),
  5. Gangguan perkembangan yang lainnya (gangguan belajar/learning disability, retardasi mental, terlambat bicara, dll).